CERITA RAKYAT: SI KELINGKING

Dahulu kala, di sebuah dusun kecil di tepi hutan Jambi, hiduplah sepasang suami istri petani yang lama tak dikaruniai anak. Hari-hari mereka lalui dengan doa dan harapan, hingga pada suatu malam yang dingin dan diterangi bulan purnama, sang istri bermimpi didatangi seorang perempuan tua berjubah hijau.

“Besok pagi, kau akan melahirkan anak. Tapi jangan terkejut—dia tak seperti anak lain,” bisik si perempuan dalam mimpi.

Benar saja, keesokan paginya, sang istri melahirkan seorang anak laki-laki… tapi hanya sebesar jari kelingking! Sang ayah hampir saja menjerit ketakutan, namun anak mungil itu membuka matanya dan berkata, “Jangan takut, Ayah. Aku anakmu.”

Mereka menamainya Si Kelingking.

Meski tubuhnya kecil, Si Kelingking tumbuh cerdas dan punya kekuatan aneh: segala benda yang disentuhnya bisa berubah menjadi apa saja yang ia pikirkan. Tongkat bisa jadi ular, batu jadi emas, dan dedaunan bisa menjelma menjadi burung.

Orangtuanya merahasiakan kekuatan itu, takut anaknya dimanfaatkan. Tapi kabar tentang bocah mungil yang bisa mengangkat karung beras dan menumbuhkan padi dalam semalam mulai menyebar. Hingga telinga Raja Jambi pun mendengarnya.

Raja mengutus pasukan untuk menjemput Si Kelingking. Di istana, Raja berkata, “Anak kecil, jika kau bisa mengubah tongkat ini menjadi seekor kuda, kau akan kuangkat jadi penasihat istana.”

Si Kelingking menyentuh tongkat itu dan seketika berubah menjadi kuda hitam yang gagah. Semua takjub. Si Kelingking diangkat jadi penasihat, tapi ia tahu: Raja hanya menginginkan kekuatannya, bukan dirinya.

Hari demi hari, Raja makin serakah. Ia memerintahkan Si Kelingking mengubah batu jadi emas, air jadi anggur, rumput jadi kain sutra. Negeri memang makmur, tapi rakyat jadi malas, dan hutan makin gundul karena pohon-pohon diubah jadi barang mewah.

Hati Si Kelingking sedih. Ia tak ingin kekuatannya malah menghancurkan alam.

Suatu malam, ia bermimpi didatangi perempuan tua berjubah hijau—sosok yang dulu datang pada ibunya. “Kau diberi kekuatan bukan untuk menyenangkan raja, tapi untuk menjaga keseimbangan dunia. Sudah waktunya memilih.”

Keesokan harinya, Si Kelingking menghadap Raja dan berkata, “Aku ingin kembali ke desa.”

“Tidak bisa!” bentak Raja. “Kau milik kerajaanku! Kau akan terus mengubah segalanya untukku!”

Dengan tenang, Si Kelingking menyentuh lantai istana—lantai berubah menjadi sungai deras. Para pengawal terseret arus. Ia menyentuh pilar—pilar menjelma pohon beringin raksasa. Istana runtuh. Raja berlari ketakutan.

Si Kelingking kembali ke desa. Di sana, ia menyentuh ladang-ladang kering, menjadikannya subur. Ia mengajar anak-anak desa untuk bercocok tanam, dan hanya menggunakan kekuatan ketika benar-benar dibutuhkan.

Tahun berganti tahun, Si Kelingking tetap mungil tapi dihormati. Rakyat menyebutnya “Penjaga Alam”, bukan karena kekuatannya, tapi karena kebijaksanaannya.

Dan meski ia kecil, namanya terus hidup besar dalam cerita rakyat Jambi.