Lembut Hati, Tangguh Jiwa
Di lereng bukit Minangkabau, di sebuah kampung bernama Padang Tarok, hiduplah seorang gadis jelita bernama Sabai nan Aluih. Ia dikenal tak hanya karena parasnya yang elok dan tutur katanya yang lembut, tetapi juga karena keberanian dan rasa cintanya yang dalam kepada keluarga dan kampung halamannya.
Sabai hidup bersama ayahnya, Rajo Babandiang, ibunya, dan adiknya, Mangkudun. Hidup mereka sederhana tapi bahagia. Setiap pagi, Sabai menenun kain dan membantu ibunya memasak, sementara ayah dan adiknya pergi ke ladang.
Namun suatu hari, kedamaian kampung terusik. Dari dalam gua Bukit Barisan, muncul seekor ular besar, hitam berkilat dengan mata menyala merah. Warga menyebutnya Ular Siluman Tujuah Ruas, seekor makhluk gaib yang dulu dikurung oleh datuk nenek moyang. Kini, karena tanah adat terus dirusak dan janji leluhur dilupakan, ular itu bangkit dan menuntut korban.
Ia menuntut Rajo Babandiang, sang kepala kampung, sebagai tumbal agar tidak melahap seluruh kampung.
Ayah Sabai, walau tua dan sakit-sakitan, menerima nasib itu dengan ikhlas. Tapi Sabai tak tinggal diam.
“Ayah tidak akan pergi sendiri,” kata Sabai dengan mata berkaca. “Kalau harus ada yang menghadapi makhluk itu, biar aku yang maju.”
Semua warga tercengang. Seorang gadis lembut menghadapi siluman? Tapi Sabai berdiri tegak. Ia mengambil keris pusaka yang disimpan di atas loteng rumah—keris yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang berhati murni dan tak gentar.
Malam itu, Sabai berjalan sendiri menuju mulut gua. Langit gelap, angin berhenti. Dari dalam gua, terdengar suara desis panjang dan suara yang menggema:
“Anak perempuan? Kau pikir bisa melawanku?”
Sabai menggenggam keris erat-erat. Ia tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke mata siluman. Ketika ular itu menyerang, Sabai meloncat ke samping, menusukkan keris ke ruas ketujuh sang ular—titik lemah yang diceritakan neneknya dalam dongeng lama.
Ular itu melolong, tubuhnya menggeliat, dan dari dalam tanah keluar cahaya menyilaukan. Tubuhnya hancur perlahan menjadi debu dan lenyap ditelan tanah.
Sabai terjatuh, kelelahan. Tapi kampung selamat.
Keesokan paginya, matahari bersinar hangat. Warga kampung berkumpul di balai, dan nama Sabai dielu-elukan. Tapi ia tetap bersahaja.
“Kemenangan bukan karena aku hebat. Aku hanya ingin melindungi yang aku cintai,” ucapnya lembut.
Sejak itu, Sabai nan Aluih dikenang sebagai pahlawan kampung. Dalam adat Minangkabau yang menjunjung tinggi kelembutan dan keberanian, kisah Sabai diajarkan dari generasi ke generasi. Bahwa kekuatan sejati bukan hanya dari otot, tetapi dari hati yang tak gentar dan jiwa yang penuh kasih.