Tari Guel: Tarian dari Dunia Mimpi
Di dataran tinggi Gayo, Aceh, hiduplah seorang pemuda bernama Ibrahim. Ia yatim sejak kecil dan tinggal bersama pamannya yang seorang penabuh gendang di setiap upacara adat. Ibrahim tumbuh dalam suasana penuh irama, tabuhan, dan lantunan doa.
Namun, Ibrahim bukan anak biasa. Sejak kecil, ia sering diam menatap langit atau berjongkok di bawah pohon sambil mendengarkan suara-suara yang tak didengar orang lain. Ia kerap bermimpi tentang cahaya yang turun dari langit dan makhluk-makhluk anggun menari dalam lingkaran cahaya.
Orang-orang menganggapnya aneh. Tapi paman Ibrahim percaya, keponakannya memiliki anugerah. Maka setiap kali ada acara adat, paman akan membawa Ibrahim ikut serta—bukan untuk menari, tetapi untuk belajar memahami makna di balik gerak dan irama.
Pada suatu malam, Ibrahim bermimpi sangat nyata. Dalam mimpinya, seekor gajah putih muncul dari balik kabut, diiringi bunyi seruling dan tabuhan gendang yang lembut. Di atas punggung gajah duduk seorang perempuan berpakaian cahaya, tersenyum dan menari dengan tangan melingkar, kepala tertunduk khusyuk, dan tubuh bergerak seperti mengikuti irama alam.
Ketika terbangun, Ibrahim menangis. Ada getar dalam hatinya yang belum pernah ia rasakan.
Mimpi itu datang lagi malam berikutnya. Kali ini, ia melihat barisan manusia menari mengikuti langkah gajah. Gerak mereka indah, teratur, namun juga seperti doa yang hidup.
Ibrahim lalu menemui tetua adat.
“Aku ingin membuat sebuah tarian,” katanya. “Tarian dari mimpi. Untuk memanggil damai, dan menyatukan kita dengan alam.”
Para tetua awalnya ragu. Tapi setelah mendengar kisahnya dan menyaksikan sendiri gerak-gerak yang ia ciptakan, mereka percaya—ini bukan sembarang tarian. Ini pesan dari dunia lain.
Ibrahim mulai melatih para pemuda desa. Ia ajarkan gerakan yang lembut namun penuh makna. Gerakan tangan membuka dan menutup melambangkan hati yang menerima dan melepaskan. Langkah kaki berirama melambangkan perjalanan hidup. Gerakan kepala yang tunduk mengajarkan kerendahan hati.
Pusat dari tarian itu adalah tabuhan gendang dan bunyi canang, yang dipercaya bisa membuka jalur antara dunia manusia dan dunia roh. Ketika tarian ini dibawakan, angin selalu berhembus lebih lembut, dan burung-burung mendekat seolah ikut menyimak.
Tarian itu diberi nama Tari Guel, dari kata “meguel” yang berarti “menggerakkan” atau “menggetarkan.”
Dibawakan pertama kali pada sebuah upacara penghormatan leluhur, Tari Guel membuat semua yang hadir terdiam. Banyak yang menangis, bukan karena sedih, tetapi karena merasa disentuh sesuatu yang tak kasat mata.
Sejak itu, Tari Guel menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Gayo. Ia bukan sekadar hiburan, tetapi bentuk penghormatan pada alam, leluhur, dan kehidupan. Tarian ini diyakini bisa membersihkan niat, menenangkan jiwa, dan menjadi jembatan spiritual bagi yang percaya.
Ibrahim sendiri menghilang setelah menarikan Tari Guel terakhir kalinya di sebuah upacara penyatuan dua kampung yang pernah berselisih. Ada yang bilang ia menyatu dengan angin, ada pula yang percaya ia dibawa gajah putih ke dunia mimpi.
Namun Tari Guel tetap hidup, menari dalam tubuh setiap anak Gayo yang merindukan kedamaian.