Di sebuah lembah hijau yang dikelilingi bukit-bukit di Papua Barat, hiduplah seorang anak perempuan bernama Nodi bersama ibunya. Ayah Nodi telah lama hilang saat berburu, dan ibunya menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Nodi tumbuh menjadi anak yang rajin, penurut, dan selalu membantu ibunya menganyam tikar dan mencari ubi di hutan. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun tubuhnya kecil dan langkahnya lambat.
Namun, kehidupan mereka berubah ketika musim kemarau tiba. Tanah retak, sungai mengering, dan makanan semakin sulit dicari. Penduduk desa mulai saling menyalahkan dan sebagian menyebarkan gosip bahwa malapetaka datang karena ada anak yang lahir di bawah bintang redup—dan mereka menunjuk Nodi.
“Nodi pembawa sial,” bisik beberapa orang. “Sejak lahir, hujan jarang turun. Ayahnya pun tak pernah kembali.”
Ibunya mencoba melindungi Nodi, tetapi tekanan dari desa membuat mereka dikucilkan. Nodi tak lagi boleh bermain dengan teman-temannya. Ia hanya duduk di bawah pohon tua setiap sore, menatap langit dan bertanya dalam hati, “Apa salahku?”
Pada suatu hari, ibunya jatuh sakit karena kelelahan dan kekurangan makanan. Nodi berlari ke rumah kepala suku, memohon bantuan. Tapi sang kepala suku menatapnya dingin.
“Anak yang membawa kutuk tak layak ditolong,” ucapnya.
Dengan hati hancur, Nodi kembali ke rumah. Ia memeluk tubuh ibunya yang semakin lemah. Malam itu, ibunya meninggal dalam pelukan Nodi.
Tak ada satu pun warga desa yang datang membantu menguburkan jenazah. Sendirian, dengan tangan kecilnya, Nodi menggali tanah di belakang rumah. Ia menangis, bukan hanya karena kehilangan ibunya, tapi juga karena merasa tak diinginkan di dunia.
Tangisnya tak berhenti. Satu malam. Dua malam. Tiga malam. Air matanya terus mengalir.
Tanah di sekelilingnya mulai basah. Genangan muncul. Lalu meluas. Bukit-bukit kecil di sekitar berubah menjadi pulau-pulau kecil yang mengapung di tengah air. Dalam seminggu, desa itu tenggelam—menjadi danau luas.
Penduduk yang menolak Nodi berlari, tapi tak semua selamat. Rumah-rumah mereka hilang ditelan air.
Di tengah danau itu, muncul pulau kecil. Orang-orang yang selamat bersaksi bahwa mereka mendengar suara lembut anak perempuan bernyanyi—nyanyian duka yang pilu namun indah. Pulau itu kemudian dinamakan Pulau Nodi dan danau yang mengelilinginya dikenal sebagai Danau Nodi.
Konon, siapa pun yang datang ke Danau Nodi dengan hati bersih akan mendengar bisikan angin di atas air—bisikan seorang anak yang memaafkan dunia yang menolaknya.