CERITA RAKYAT: AJI BONAR

Di tanah Riau yang dahulu masih dipenuhi hutan lebat dan sungai-sungai jernih, berdirilah sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Bintan Luhur. Kerajaan ini terkenal damai, makmur, dan dipimpin oleh seorang raja bijaksana bernama Aji Bonar.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa Aji Bonar bukanlah manusia biasa. Konon, ia dilahirkan dari persatuan seorang perempuan manusia dengan makhluk penunggu sungai. Saat ia lahir, langit berubah warna, dan petir menyambar tanpa suara—pertanda alam menyambut kehadiran anak istimewa.

Sejak kecil, Aji Bonar menunjukkan keanehan. Ia bisa memanggil hujan hanya dengan duduk diam di bawah pohon beringin. Ia mampu membuat angin berhenti bertiup, dan suatu kali, saat dusun dilanda kekeringan, ia mengangkat kedua tangannya ke langit, dan tak lama hujan pun turun.

“Anak ini menyatu dengan alam,” kata dukun tua desa. “Ia adalah titisan penjaga bumi.”

Ketika dewasa, Aji Bonar menggantikan ayah angkatnya sebagai raja. Di bawah kepemimpinannya, kerajaan makmur. Ia tak hanya memimpin dengan kebijakan, tapi juga dengan hatinya. Ia menanam pohon di setiap sudut desa, melarang penebangan sembarangan, dan menjaga sungai-sungai tetap jernih.

Rakyat mencintainya. Alam pun tampak melindunginya.

Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang raja dari negeri seberang ingin menguasai Kerajaan Bintan Luhur. Pasukan asing datang, membakar ladang, meracuni sungai, dan menebang hutan.

Aji Bonar tak langsung menyerang balik. Ia memanggil para tetua adat, mendengarkan suara angin malam, dan berbicara kepada sungai. Lalu ia berkata:

“Alam adalah ibu. Jika mereka melukainya, biarlah ibu sendiri yang membalas.”

Malam itu, Aji Bonar berjalan sendiri ke tepi sungai. Ia membungkuk, menyentuhkan telapak tangannya ke air. Sungai yang tenang tiba-tiba bergemuruh. Hujan turun deras, bukan dari awan biasa, tapi dari kabut yang naik dari bumi.

Gunung yang tertidur memunculkan suara. Akar-akar pohon merambat ke tanah musuh. Banjir besar melanda perkemahan mereka. Pasukan lawan panik, lari tunggang langgang. Tidak satu pun berhasil kembali ke negerinya.

Setelah peristiwa itu, tak ada lagi kerajaan yang berani mengganggu Bintan Luhur.

Namun kekuatan besar selalu datang dengan harga. Aji Bonar semakin sering menyendiri. Ia merasa bukan lagi manusia sepenuhnya. Tubuhnya mulai berubah: kulitnya terasa lebih dingin seperti embun, suaranya lebih bergema seperti goa. Ia tahu, waktunya bersama manusia akan segera usai.

Suatu malam, ia mengumpulkan seluruh rakyat di alun-alun istana.

“Waktuku di sini telah selesai,” katanya lembut. “Jaga tanah ini seperti kau menjaga ibumu. Jika kalian menyakiti alam, aku akan tahu… dan aku akan kembali.”

Pagi harinya, Aji Bonar menghilang tanpa jejak. Sebagian berkata ia menyatu dengan sungai, menjadi roh penjaga hutan. Yang lain percaya ia masih hidup, menjelma dalam angin yang membelai dedaunan.

Dan sampai hari ini, di Riau, jika hujan turun di tengah kemarau atau angin sejuk datang tanpa alasan, orang tua berkata sambil tersenyum, “Itu Aji Bonar. Ia masih menjaga kita.”