Namaku Aldi. Kelas 7. Termasuk anak yang biasa-biasa aja. Nilai nggak pernah paling tinggi, tapi juga nggak jeblok-jeblok amat. Yang penting, aku selalu coba jujur.
Sampai suatu hari, ulangan Matematika datang.
Pak Darma—guru yang terkenal galak tapi adil—ngasih soal yang susahnya luar biasa. Baru lihat halaman pertama, kepala rasanya udah ngebul.
Di kanan kiriku, suara kertas berbisik mulai kedengeran.
Beberapa temen mulai nyontek lewat sobekan kecil, sebagian kerja kelompok diam-diam.
Aku tergoda. Serius.
Di tasku ada kertas contekan yang sebenarnya udah aku siapin—“jaga-jaga kalau panik,” pikirku waktu itu.
Tapi waktu aku mau ambil, aku lihat ke depan.
Pak Darma duduk dengan wajah datar. Tapi matanya awas.
Aku langsung batal. Entah kenapa, rasa malu lebih besar dari rasa takut ketahuan.
Besoknya, nilai keluar.
Namaku ada di urutan bawah.
“55. Lumayan,” gumamku pelan.
Di saat yang lain heboh karena dapat nilai 80-90, aku cuma bisa senyum tipis.
Beberapa hari kemudian, Pak Darma panggil lima orang ke ruang guru.
Ternyata, mereka yang dapat nilai tinggi—ketahuan nyontek dari kamera CCTV sekolah.
Gila, aku baru tahu kalau kelas kami sekarang dipasang kamera.
Satu per satu dari mereka dipanggil ke BP. Ada yang nangis. Ada yang ngeles. Tapi akhirnya semua ngaku.
Hari Jumat, Pak Darma masuk kelas bawa wajah serius.
“Kalian tahu nggak, kenapa ada sila kedua di Pancasila?”
Kelas diam.
“Karena manusia punya akal dan hati. Dan dua hal itu yang bikin kita bisa bedain mana yang adil dan beradab.”
Beliau jalan pelan ke depan papan tulis.
“Kalian pikir jujur itu cuma soal gak nyontek? Salah. Jujur itu soal menghargai diri sendiri dan orang lain. Soal tanggung jawab. Soal kemanusiaan.”
Aku merinding sedikit waktu dengar itu.
Minggu depannya, aku ikut remedial. Dan ya, nilainya naik—meskipun tetap gak sefantastis yang dulu.
Tapi anehnya, aku gak ngerasa kalah.
Waktu pulang sekolah, Pak Darma manggil aku sebentar.
“Aldi,” katanya, “Nilai kamu memang belum bagus. Tapi kamu udah menang.”
Aku bingung. “Menang, Pak?”
“Iya. Menang lawan diri sendiri.”
Aku pulang naik sepeda sambil senyum sendiri.
Karena hari itu aku sadar:
Jujur itu bukan soal benar salah di kertas ulangan. Tapi soal siapa yang kamu jadiin teman: hati nurani atau rasa takut.
Dan aku milih… hati nurani.
Tags: cerita pendek Pancasila, sila kedua, jujur, ulangan, kemanusiaan yang adil dan beradab, cerita anak SMP, moral remaja, integritas, cerita inspiratif, pendidikan karakter