BAHASA IBU DAN INGATAN KOLEKTIF

Dalam kehidupan manusia, bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan pesan. Ia adalah ruang tempat seluruh jejak peradaban disimpan, tempat identitas dibentuk, dan tempat luka sejarah diabadikan. Di antara ragam bahasa yang manusia kuasai, bahasa ibu menempati posisi paling purba, paling personal, dan paling emosional. Bahasa ibu bukan sekadar bahasa pertama yang kita pelajari sejak bayi, melainkan bahasa yang menyusun batin dan cara kita memahami dunia. Ia tumbuh bersama kita, menyatu dengan pengalaman-pengalaman awal: dari pelukan ibu, nyanyian pengantar tidur, hingga dongeng sebelum tidur yang perlahan membentuk kesadaran kita tentang baik dan buruk, tentang dunia yang ramah atau mengancam.

Namun dalam dinamika modernitas yang mengutamakan kecepatan dan efisiensi, bahasa ibu kerap terpinggirkan. Bahasa nasional, bahkan bahasa global, lebih diprioritaskan dalam pendidikan, pekerjaan, dan komunikasi sosial. Akibatnya, banyak anak kini tumbuh tanpa pernah mengenal bahasa ibunya sendiri—bahkan di rumah mereka sendiri. Dalam konteks ini, sastra menjadi salah satu ruang terakhir yang bertahan. Ia menyimpan dan menjaga bahasa ibu seperti pusaka yang tak ternilai, membawanya hidup dalam cerita, puisi, dan drama.

Bahasa ibu adalah jembatan menuju ingatan kolektif. Dalam karya sastra, bahasa daerah atau bahasa ibu tidak hanya berfungsi sebagai media estetika, tapi juga sebagai saksi sejarah dan pengikat budaya. Setiap diksi, idiom, atau ungkapan dalam bahasa ibu membawa muatan makna yang tak tergantikan oleh terjemahan. Ia mengandung pengalaman komunitas, cara berpikir, dan nilai-nilai hidup yang terbangun selama ratusan tahun. Maka ketika seorang penyair menulis puisi dalam bahasa ibunya, sejatinya ia sedang membuka pintu ke dalam dunia batin masyarakatnya sendiri.

Ambil contoh Amba karya Laksmi Pamuntjak. Meski ditulis dalam bahasa Indonesia, novel ini tak bisa dilepaskan dari kesadaran budaya dan bahasa lokal. Dalam berbagai bagian, terutama saat menggambarkan latar Jawa dan relasi antar tokoh yang kental dengan tradisi, pembaca akan menemukan lapisan-lapisan bahasa yang memperlihatkan kompleksitas identitas kultural tokoh-tokohnya. Nama-nama, idiom, bahkan irama kalimat, membawa aroma Jawa yang tidak hanya menjadi latar, tetapi juga tubuh dari cerita itu sendiri. Pembaca diajak tidak hanya menyimak narasi, tetapi merasakan denyut budaya yang masih hidup dalam diam.

Demikian pula puisi-puisi W.S. Rendra dalam bahasa Jawa. Rendra tidak hanya menulis untuk menyampaikan makna, tetapi juga untuk membangkitkan rasa. Melalui bahasa Jawa, puisinya menjadi lebih organik, lebih membumi. Bahasa Jawa dalam puisi Rendra bukan sekadar pilihan stilistika, melainkan pernyataan politik dan kultural. Ia mengingatkan bahwa bahasa ibu adalah rumah pulang bagi siapa pun yang ingin kembali mengingat—baik kenangan indah maupun luka-luka masa lalu. Lewat puisi, Rendra memperlihatkan bahwa bahasa ibu bukan bahasa pinggiran, tapi bahasa jiwa yang tak boleh dilupakan.

Dalam masyarakat adat, bahasa ibu bahkan menjadi satu-satunya penjaga pengetahuan lokal. Ketika bahasa itu punah, punahlah pula cara bertani, meramu obat, membaca musim, dan merawat alam. Dalam konteks ini, sastra berperan sebagai dokumentasi tak tertulis dari kearifan lokal. Dongeng-dongeng yang dituturkan nenek kepada cucunya, legenda yang beredar dari mulut ke mulut, dan puisi yang dibacakan saat upacara, semuanya adalah bentuk sastra yang hidup dan tumbuh bersama masyarakatnya. Di sana, bahasa ibu bukan hanya alat ekspresi, melainkan struktur berpikir itu sendiri.

Sayangnya, banyak dari karya-karya tersebut tidak sempat dibukukan atau ditulis ulang sebelum bahasa ibunya hilang. Beberapa bahkan tidak sempat diteliti oleh akademisi, dan akhirnya lenyap bersama para penuturnya yang semakin sedikit. Inilah mengapa peran penulis dan sastrawan menjadi penting—mereka bukan hanya menciptakan, tetapi juga menjaga. Melalui tulisan-tulisan mereka, bahasa ibu diberi ruang untuk hidup, untuk bersuara kembali, bahkan jika hanya di atas kertas.

Bahasa ibu juga menyimpan trauma kolektif. Dalam sejarah Indonesia, kita mengenal bagaimana bahasa daerah tertentu pernah dilarang atau dibatasi penggunaannya karena alasan politis. Di masa Orde Baru, misalnya, penggunaan bahasa-bahasa lokal sering kali ditekan atas nama kesatuan nasional. Akibatnya, banyak generasi kehilangan akses ke bahasa ibunya sendiri. Ketika penulis mencoba menulis kembali dalam bahasa itu, mereka bukan hanya sedang berkarya, tetapi juga sedang menolak lupa. Mereka merebut kembali hak untuk bicara, dan lebih dari itu—hak untuk mengingat.

Sastra, dalam konteks ini, menjadi bentuk perlawanan yang paling lembut namun paling dalam. Ia tidak turun ke jalan, tidak meneriakkan slogan, tetapi menyusup ke batin pembaca, menghidupkan kembali suara-suara yang pernah dibungkam. Melalui cerita dan puisi, bahasa ibu tidak hanya bertahan, tetapi berkembang, bertransformasi, dan menjalin dialog dengan dunia yang lebih luas.

Globalisasi telah mengubah cara manusia berinteraksi, belajar, dan menulis. Di satu sisi, ia membuka peluang pertukaran budaya yang luar biasa, memungkinkan karya sastra dari pelosok dunia dibaca secara luas. Namun di sisi lain, ia juga menciptakan tekanan homogenisasi yang kuat—bahwa untuk bisa “didengar”, seorang penulis harus menulis dalam bahasa yang lebih “umum”. Maka tidak jarang, demi akses yang lebih luas, banyak penulis memilih menggunakan bahasa nasional, bahkan bahasa asing, meninggalkan bahasa ibu mereka sebagai kenangan yang hanya hidup di masa kecil.

Fenomena ini menciptakan ironi yang mendalam. Bahasa ibu, yang seharusnya menjadi fondasi paling kuat dari identitas kultural, perlahan tergantikan oleh bahasa-bahasa dominan yang lebih menjanjikan “kesuksesan”. Maka ketika seorang sastrawan muda berani menulis dalam bahasa daerah—entah itu dalam bentuk puisi Sunda, cerita pendek dalam bahasa Bugis, atau drama dalam bahasa Aceh—sesungguhnya mereka sedang melakukan tindakan radikal: melawan lupa dan menegaskan bahwa bahasa ibu masih layak, masih kuat, dan masih memiliki tempat dalam percakapan kultural yang lebih luas.

Karya-karya kontemporer mulai menunjukkan kebangkitan kesadaran ini. Kita melihat munculnya kumpulan puisi multibahasa, penerbitan sastra daerah, dan penerjemahan sastra lokal ke bahasa nasional dan internasional. Dalam ruang-ruang komunitas, para penulis muda berkumpul untuk merayakan bahasa daerah mereka sendiri—bukan sebagai peninggalan usang, tapi sebagai kekuatan masa kini. Sastra digital bahkan memperluas ruang ini: puisi berbahasa Batak, cerpen dalam bahasa Madura, dan narasi pendek dalam bahasa Minang kini bisa tersebar luas melalui media sosial, blog, dan platform daring lainnya.

Namun, upaya pelestarian ini tidak hanya soal menulis kembali dalam bahasa ibu. Ia juga menuntut keberanian menghadirkan narasi yang jujur tentang luka, sejarah, dan identitas. Menulis dalam bahasa ibu bukan sekadar upaya nostalgia atau romantisasi masa lalu, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral terhadap komunitas yang telah membentuk penulis itu sendiri. Dengan menulis dalam bahasa ibunya, seorang sastrawan sedang mengatakan: “Saya tidak lupa. Saya masih di sini. Dan kisah kita masih layak didengar.”

Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga bahasa ibu melalui sastra adalah soal pembaca. Sebuah puisi indah dalam bahasa Toraja bisa saja kehilangan pembacanya karena tak banyak yang lagi fasih. Di sinilah pentingnya kerja kolaboratif antara penulis, penerjemah, dan komunitas sastra. Penerjemahan bukan untuk menghapus bahasa ibu, tapi justru menjadi jembatan agar maknanya bisa menjangkau lebih banyak orang. Dalam proses ini, kita juga belajar bahwa setiap bahasa membawa logika dan rasa yang berbeda—dan justru dalam keberagaman itulah keindahan sastra tumbuh.

Lebih jauh, bahasa ibu juga mengajarkan kita cara melihat dan merasakan dunia secara berbeda. Dalam banyak bahasa lokal Indonesia, misalnya, terdapat kata-kata yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Kata seperti “ngemong” dalam Jawa, “batobo” dalam Batak, atau “mapalus” dalam Minahasa mengandung filosofi yang hanya bisa dipahami jika kita menyelami konteks budayanya. Maka ketika kata-kata ini hadir dalam karya sastra, mereka tidak hanya menambah kekayaan diksi, tetapi juga membuka cakrawala baru tentang cara hidup, cara berpikir, dan cara merasa.

Bahasa ibu juga sering kali menjadi tempat di mana kesedihan paling jujur bisa diekspresikan. Tangisan terdalam, doa yang paling lirih, atau rindu yang paling menyayat sering kali lebih tepat diucapkan dalam bahasa ibu. Maka tidak heran jika karya-karya sastra yang mencoba menyingkap lapisan emosi terdalam, lebih memilih kembali ke bahasa akar. Di situlah bahasa ibu menjadi tempat berlindung, tempat berpulang.

Kita hidup di era yang penuh gangguan: berita berganti tiap detik, informasi mengalir tanpa henti, dan narasi-narasi dangkal mudah viral. Di tengah kebisingan ini, sastra dalam bahasa ibu menawarkan keheningan yang langka. Ia mengajak kita melambat, menyimak, dan merenung. Ia mengingatkan bahwa di balik hiruk-pikuk modernitas, masih ada suara-suara lembut dari masa lalu yang menunggu untuk didengar kembali.

Refleksi terakhir dari esai ini adalah sebuah pertanyaan: jika kita melupakan bahasa ibu kita, apakah kita benar-benar mengenal diri kita sendiri? Dalam dunia yang semakin seragam, menjaga keberagaman bukan hanya tentang melestarikan flora dan fauna, tetapi juga tentang menjaga keragaman suara, kata, dan cerita. Dan sastra, dengan segala kemampuannya merawat bahasa dan emosi, menjadi penjaga terakhir dari warisan ini.

Maka menulis dalam bahasa ibu bukan hanya tindakan sastra, tapi tindakan kultural dan eksistensial. Ia adalah cara untuk berkata: “Kami masih ada.” Dan selama masih ada penulis yang menulis, pembaca yang membaca, serta komunitas yang mendengarkan, bahasa ibu akan terus hidup—bersama ingatan kolektif yang tak akan pernah sepenuhnya padam.