Babak 8: Suara dari Udara, Harapan dari Bumi

Latar: 20 Agustus 1945. Studio Radio Jakarta. Kampung-kampung dan kota kecil di seluruh Jawa dan Sumatera. Monolog Soekarno disiarkan untuk pertama kalinya secara luas sebagai Presiden Republik Indonesia.

⛰️ Tata Panggung:

  • Kiri: Studio radio sederhana — mikrofon tua, meja kayu, lampu gantung. Soekarno duduk sendiri.
  • Tengah: Panggung hitam, tempat suara Soekarno mengalun — sebagai suara narasi yang bergema.
  • Kanan: Berbagai potongan adegan rakyat — anak-anak di halaman, pemuda di pos ronda, ibu-ibu memasak sambil mendengarkan siaran.

👤 Tokoh:

  • Soekarno (monolog)
  • Narator
  • Rakyat dari berbagai kalangan (diam, hanya merespons lewat gerak dan ekspresi)
  • Anak-anak kecil
  • Petani, nelayan, buruh
  • Penjual radio keliling

🎙️ Adegan Dimulai:

(Kiri panggung. Studio radio. Soekarno duduk diam, memejamkan mata sejenak. Lalu menatap mikrofon.)

SOEKARNO (dengan nada dalam dan menggugah)
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air…

Suara ini datang dari Jakarta, dari jantung negeri yang baru saja lahir. Dari tempat di mana kami berdiri kemarin, membaca Proklamasi, memahat sejarah baru…

(Suara menggema ke tengah dan kanan panggung. Rakyat tampak menghentikan aktivitasnya.)


🎧 Monolog Soekarno (mengalun sebagai narasi panggung):

Kita bukan lagi tanah jajahan. Kita bukan lagi bangsa yang diperintah. Kini, kita berdiri di atas kaki sendiri. Dengan segala kelemahan kita, kita tidak takut. Sebab keberanian adalah warisan kita, dan harapan adalah kekuatan kita.

Negeri ini belum sempurna. Tapi negeri ini milik kita. Negeri ini bukan hadiah, tapi hasil darah dan air mata.

Kita akan bangun jembatan, menanam padi, membuat sekolah, menyanyikan lagu kita sendiri, dan bicara dengan bahasa kita sendiri: Bahasa Indonesia.

Wahai kaum ibu, wahai para petani, wahai para pemuda — merdekalah. Pegang erat negeri ini. Jangan lepaskan. Jangan lupakan. Dan jangan biarkan siapa pun mengambilnya kembali.


🎥 Adegan Visual Rakyat:

(Kanan panggung. Potongan-potongan kecil kehidupan rakyat yang mendengarkan siaran.)

  • Seorang petani berhenti mencangkul, berdiri menatap langit.
  • Anak-anak mengangkat bendera dari kertas warna-warni.
  • Seorang ibu menitikkan air mata sambil menyalakan lampu minyak.
  • Pemuda menyalakan petasan bambu, disambut sorakan.
  • Radio kayu berdentum di warung kopi kecil, para buruh bersorak, mengangkat cangkir mereka.

🔔 Puncak Adegan:

(Studio gelap. Hanya mikrofon yang tersorot. Soekarno menutup monolog.)

SOEKARNO
Dari Jakarta, aku berseru: Hidup Republik Indonesia!

(hening sesaat, lalu lembut:)
Dari hatiku, untuk kalian semua.


🎵 Musik Latar:

Lagu “Rayuan Pulau Kelapa” versi instrumen mengalun lembut. Cahaya panggung berubah hangat keemasan. Di kanan, rakyat menari kecil, tertawa, dan bersyukur.


NARATOR

“Bukan hanya suara pemimpin, tapi gema keyakinan. Dari udara, harapan ditanam. Dan dari tanah, rakyat menyambutnya seperti matahari pagi: hangat, murni, dan tak terbantahkan.”


(Lampu panggung meredup. Hanya tersisa suara anak kecil menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara pelan.)


BABAK BERAKHIR