Latar: Akhir November 1945. Ambarawa dalam masa berkabung dan kelelahan. Namun, dari selatan, seorang sosok karismatik datang mengangkat kembali semangat pasukan—Kolonel Soedirman, baru diangkat sebagai Panglima Divisi V Banyumas. Kehadirannya membawa arah baru bagi perjuangan.
⛰️ Latar Panggung:
- Tengah: Balai desa yang hancur separuh, kini dijadikan markas darurat.
- Kiri: Pasukan TKR duduk lesu, merawat luka dan menyulam bendera baru.
- Kanan: Jalan masuk dari lereng selatan, debu berterbangan menandai kedatangan iring-iringan kuda dan gerobak.
- Latar suara: Burung gagak, desir angin, roda kayu berderak. Musik orkes gamelan bercampur drum militer halus.
👤 Tokoh-tokoh:
- Kolonel Soedirman: Datang dengan tenang, berwibawa, penuh keteduhan dan strategi.
- Serda Parto: Gagap menyambut pemimpin baru.
- Rini: Terkejut melihat sosok pemimpin yang begitu berbeda dari Mayor Isdiman.
- Sukro: Mulai bangkit semangatnya.
- Warga dan pejuang: Mengintip dari balik reruntuhan, menaruh harapan pada pria dari selatan.
🎙️ Dialog dan Aksi:
(Lampu perlahan menyala. Pasukan duduk melingkar. Rini menyalakan lentera. Di kejauhan, derap langkah dan roda gerobak mendekat.)
SUKRO
(sambil mengangkat kepala)
Apa itu? Pasukan musuh?
SERDA PARTO
(berdiri dan menyipitkan mata)
Tidak… itu panji kita. Lihat… merah putihnya masih berkibar.
(Masuklah Kolonel Soedirman, mengenakan pakaian sipil lusuh, membawa tongkat bambu, namun dengan sorot mata yang tajam.)
SOEDIRMAN
(suara tenang, dalam)
Apakah ini… barisan Ambarawa?
SERDA PARTO
(terbata)
Kami… iya, Kolonel… sisa-sisa pasukan setelah Benteng Willem… gugur… Mayor Isdiman…
SOEDIRMAN
(menunduk hormat)
Beliau pahlawan. Dan kalian adalah warisannya. Aku datang bukan untuk memimpin dari atas, tapi untuk bertempur bersama.
(Senyap. Lalu terdengar bisik-bisik di antara para pejuang. Beberapa mulai berdiri, memberi hormat.)
RINI
(berbisik ke Sukro)
Dia… beda. Seperti tidak membawa perintah… tapi membawa harapan.
SUKRO
(tersenyum samar)
Kayak kita baru lihat pagi setelah malam panjang.
🎙️ NARATOR (suara hangat, menggema):
“Dari selatan datang lelaki muda, kurus, paru-paru rusak… tapi semangatnya tak bisa diukur. Dalam tiap tatapan matanya, ia tidak melihat pasukan… ia melihat Indonesia.”
(Kolonel Soedirman berdiri di depan seluruh pasukan, berbicara lantang dan lembut):
SOEDIRMAN
Kita kalah dalam jumlah. Tapi tidak dalam kehendak. Kita tak punya tank. Tapi kita punya tanah yang kita cintai.
Mulai hari ini, kita akan belajar menyergap, menghantam, lalu lenyap. Karena kemerdekaan bukan tentang menang… tapi tentang bertahan.
(Semua pasukan serentak berdiri. Suara gemuruh kaki menghentak.)
SEMUA
SIAP, KOLOOONEEL!
🎵 (Instrumen “Maju Tak Gentar” mengalun perlahan. Cahaya mulai terang. Pasukan mulai membersihkan senjata, menyusun strategi di atas peta sobek. Semangat mulai bangkit kembali.)
BABAK BERAKHIR
(Sorot lampu fokus pada wajah Kolonel Soedirman yang berdiri menatap ke arah Ambarawa, seolah melihat medan perang yang akan datang.)