Babak 5: Gugur Sang Komandan

Latar: Sehari setelah pertempuran di Benteng Willem. Suasana duka menyelimuti markas TKR. Mayor Isdiman gugur. Upacara pemakaman digelar sederhana, namun penuh haru. Di tengah kabut dan kehilangan, api perjuangan harus terus menyala.

⛰️ Latar Panggung:

  • Tengah: Pusara sederhana dari kayu, bendera merah putih menutup jenazah.
  • Kiri: Barisan TKR berbaris tegap, senjata di dada.
  • Kanan: Warga, relawan medis, dan anak-anak desa membawa bunga liar.
  • Latar belakang: Kabut tipis, daun berguguran. Musik instrumen “Gugur Bunga” lembut.

👤 Tokoh-tokoh:

  • Rini: Patah hati dan kehilangan arah, tapi tetap berdiri tegar.
  • Sukro: Tangannya diperban, berdiri gemetar menatap liang lahat.
  • Serda Parto: Kini menjadi pemimpin sementara.
  • Perwakilan TKR: Membacakan pesan perjuangan.
  • Warga desa: Mengantar dengan doa dan tangisan.
  • Narator: Memberi jeda reflektif dan emosional.

🎙️ Dialog dan Aksi:

(Lampu menyala redup. Angin malam berdesir. Para pejuang berdiri hening. Di tengah, jenazah Mayor Isdiman terbujur dengan bendera merah putih.)

SERDA PARTO
(suara serak menahan tangis)
Ia bukan hanya komandan. Ia ayah bagi semangat kami. Teman di tengah gelap. Tuan tanah dari kemiskinan yang memilih jalan rakyat. Hari ini, kita kubur tubuhnya… tapi semangatnya akan jadi darah di dada kita.

(TKR mengangkat senjata, memberi penghormatan.)

SEMUA
Dirgahayu Republik!
Merdeka…!

(Sukro maju perlahan. Ia meletakkan tanah pertama.)

SUKRO
(berbisik)
Maaf… aku masih hidup. Tapi aku janji, May… setiap tembakan yang kulepaskan setelah ini… buat semua yang kau ajarkan.

(Rini menggenggam tanah di tangan. Wajahnya hancur, tapi mata menatap langit.)

RINI
Kau tahu, aku tak pernah bicara padamu soal takut. Tapi sekarang… aku takut kehilangan satu per satu dari mereka.
(tarik napas)
Tapi aku tahu… kalau aku berhenti… kau akan kecewa. Jadi aku lanjut. Meski jalan ini berdarah.


🎙️ NARATOR (suara lirih, tenang):

“Isdiman hanyalah satu nama dari ribuan yang tak sempat menua. Tapi dari lubang tanah ini, lahirlah tekad baru… bahwa perlawanan tak butuh pangkat, cukup satu: keberanian.”

📜 (Serda Parto mengangkat kertas kecil dari saku sang Mayor, lalu membacanya di depan semua):

“Jika aku gugur, jangan tangisi. Lanjutkan. Kalau kau lelah, duduklah sebentar, tapi jangan tidur dalam penjajahan.”

🎵 (Lagu “Bagimu Negeri” dinyanyikan pelan oleh seluruh pemeran. Sorot lampu mengarah ke bendera merah putih yang perlahan dikibarkan setengah tiang.)

BABAK BERAKHIR
(Sorot lampu padam perlahan. Tinggal suara angin dan gema bisikan: “Merdeka…”)