Babak 4: Kembali ke Jakarta – Diplomasi dan Kata yang Akan Mengubah Dunia

Latar: 16 Agustus 1945, siang hingga malam. Setelah upaya kompromi, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Negosiasi dengan Laksamana Maeda dimulai. Naskah proklamasi pun disiapkan.

⛰️ Tata Panggung:

  • Kiri: Halaman rumah Ahmad Subardjo, Jakarta — suasana kembali dari Rengasdengklok.
  • Tengah: Ruang tamu rumah Laksamana Maeda — bersih, formil, ada bendera Jepang dan foto Kaisar.
  • Kanan: Ruang kerja — meja besar, lampu sorot di atas, alat tik manual, kertas berserakan.

👤 Tokoh:

  • Soekarno
  • Mohammad Hatta
  • Ahmad Subardjo
  • Laksamana Tadashi Maeda
  • Sayuti Melik
  • Sukarni
  • B.M. Diah
  • Fatmawati (suara)
  • Narator

🎙️ Adegan Dimulai:

(Lampu menyala di sisi kiri. Ahmad Subardjo menunggu cemas di beranda. Mobil berhenti. Soekarno dan Hatta turun, disambut hangat.)

SUBARDJO
(senyum lega)
Syukurlah kalian selamat. Pemuda sudah menyesal. Sekarang waktunya kita bersatu…

SOEKARNO
(keringat di dahi)
Kita harus segera ke tempat Maeda. Waktu kita tinggal sedikit. Esok… dunia harus tahu kita telah merdeka.

(Pindah ke tengah panggung. Rumah Maeda. Maeda berdiri menyambut, penuh rasa hormat.)

MAEDA
(dengan aksen Jepang, bahasa formal)
Silakan gunakan rumah saya sebagai tempat menyusun naskah. Saya tidak akan ikut campur… tetapi saya ingin membantu Indonesia lahir dengan damai.

HATTA
(angguk hormat)
Terima kasih, Maeda-san. Ini jasa yang tidak akan dilupakan sejarah.

(Panggung kanan: ruang kerja. Soekarno duduk menulis, didampingi Hatta dan Subardjo. Sukarni dan Sayuti Melik berdiri, memperhatikan.)

SOEKARNO
(menulis pelan-pelan)
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…”
(berhenti sejenak)
Tidak perlu berpanjang kata. Tapi harus kuat… harus menyala.

SUKARNI
(cepat)
Penandatangan harus kalian berdua. Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia!

(Sayuti Melik mulai mengetik dengan cepat. Suara mesin tik memenuhi ruangan.)

SAYUTI MELIK
Saya ketik ulang ya, Bung. Dengan ejaan yang lebih rapi. Proklamasi tak boleh salah tulis.

(Fatmawati berseru dari kejauhan, terdengar sayup.)

FATMAWATI
Bung, bendera sudah siap. Aku jahit sendiri. Merah putih dari kain seprai dan sisa selendang.

(Lampu meredup, sorot hanya di Soekarno yang duduk menatap kertas naskah.)

NARATOR

“Malam itu, tak ada senjata, tak ada pasukan. Hanya pena, mesin tik, dan kehendak yang tak bisa dibungkam. Dalam diam, lahirlah kalimat paling sakral dalam sejarah bangsa.”

BABAK BERAKHIR