Babak 3: Amarah yang Terkubur

Latar: Beberapa hari setelah kedatangan Sekutu. Malam hari di barak TKR di pinggiran Ambarawa. Api unggun menyala di tengah, para pemuda duduk melingkar. Ketegangan semakin terasa. Diam-diam, perlawanan disiapkan.

⛰️ Latar Panggung:

  • Tengah: Api unggun besar, ada senjata bambu runcing, bedil tua, dan peralatan perang sederhana.
  • Kanan: pohon besar dan gudang logistik.
  • Kiri: pondok barak dan tenda TKR, penjaga berjaga di kejauhan.
  • Musik latar: suara malam, jangkrik, dan gemuruh drum rendah sebagai tanda suasana batin yang membara.

👤 Tokoh-tokoh:

  • Mayor Isdiman: Pemimpin TKR, diam tapi tajam.
  • Sukro: Pemuda emosional, ingin segera bertempur.
  • Rini: Adik Sukro, jadi relawan medis, sensitif dan jernih.
  • Serda Parto: Komandan regu senior, mantan KNIL yang membelot ke Republik.
  • Pemuda TKR: Sekelompok pejuang muda, mewakili rakyat.

🎙️ Dialog dan Aksi:

(Lampu menyala perlahan. Api unggun menyala. Para pemuda duduk melingkar, wajah mereka serius dan lelah.)

SUKRO
(berdiri, berapi-api)
Mereka datang bawa janji, tapi yang muncul justru bedil dan bendera Belanda! Sampai kapan kita harus diam, Mayor?!

SERDA PARTO
(berusaha menenangkan)
Tenang, Kro. Kita ini tentara. Harus mikir pakai kepala, bukan cuma nyali. Sekali tembak… darah pasti tumpah.

RINI
(melangkah ke tengah, lembut tapi tajam)
Kalau darah itu darah warga, anak-anak, ibu-ibu… siapa yang tanggung jawab? Kalau kalian nekat, pastikan bukan emosi yang memimpin.

SUKRO
(marah)
Kita ini dipermainkan, Mbak! Mereka bilang mau damai, tapi tiap malam mereka patroli, masuk desa, geledah rumah!

MAYOR ISDIMAN
(berbicara pelan tapi menghentikan semua suara)
Cukup.

(Semua menoleh. Api unggun memantulkan bayangan di wajah Mayor Isdiman yang keras.)

MAYOR ISDIMAN
Lawan bukan berarti harus gegabah. Tapi diam juga bukan pilihan. Aku sudah kirim kurir ke markas besar di Magelang. Kita tunggu kabar.

SERDA PARTO
(nada penasaran)
Kalau tak ada kabar, Mayor?

MAYOR ISDIMAN
(sambil memandang langit)
Kalau tak ada kabar… maka sejarah akan menuntut kita mengambil keputusan sendiri.

(Sukro duduk, masih gelisah. Rini menatap api, kemudian berkata:)

RINI
Dulu, kita berjuang diam-diam. Di bawah bayang kolonial. Tapi sekarang… bahkan dalam terang, kita masih dianggap tak punya hak.

SUKRO
(pelan)
Lalu apa bedanya kemerdekaan ini… kalau kita tetap dijajah?

(Mayor Isdiman berdiri dan menatap semua mata satu per satu.)

MAYOR ISDIMAN
Bedanya satu, Kro. Dulu kita dijajah karena kalah. Sekarang… kita boleh miskin, boleh kalah senjata, tapi kita tidak akan menyerah. Itu bedanya.

(Semua hening. Api unggun bergoyang tertiup angin. Dari kejauhan, terdengar suara ledakan kecil. Semua langsung siaga.)

SERDA PARTO
(berdiri cepat)
Itu… dari arah Benteng Willem! Mereka mulai bergerak malam ini!

(Mayor Isdiman mencabut pedang peninggalan ayahnya. Wajahnya tegas.)

MAYOR ISDIMAN
Kalau mereka mulai duluan… maka Tuhan yang jadi saksi, malam ini rakyat Ambarawa akan menjawab.


BABAK BERAKHIR
(Sorot lampu hanya tersisa di api unggun. Drum perlahan meningkat. Musik marching revolusi mulai masuk samar-samar.)