Babak 1: Hening Pasca Proklamasi

Latar: Sebuah desa kecil di pinggiran Ambarawa, akhir September 1945. Matahari sore meredup di balik perbukitan. Suara gamelan samar terdengar dari kejauhan. Rakyat mulai menata hidup pasca proklamasi. Namun, kegelisahan masih mengendap di udara.

⛰️ Latar Panggung:
  • Sebelah kiri: gubuk rakyat dengan peralatan tani, tungku kayu, dan tikar anyaman.
  • Tengah: pos ronda sederhana, tiang bambu dengan bendera Merah Putih berkibar lemah.
  • Sebelah kanan: jalan desa dan pepohonan.
  • Musik latar: bunyi angin, burung sore, dan sesekali kentongan.

👤 Tokoh-tokoh:

  • Mbah Karto: Lelaki tua bijak, bekas pejuang zaman Belanda.
  • Mbak Siti: Janda muda, mengurus dapur umum dan pengungsi.
  • Sukro: Pemuda semangat, 18 tahun, baru pulang dari Yogyakarta.
  • Rini: Gadis cerdas, adik Sukro, bercita-cita jadi guru.
  • Pak Lurah Raji: Pemimpin desa yang gugup menghadapi situasi pasca kemerdekaan.
  • Narator (suara dari balik panggung)

🎙️ Dialog dan Aksi:

(Lampu perlahan menyala. Mbah Karto duduk di depan gubuk, menatap ke langit.)

NARATOR (suara lembut, perlahan):
“Negeri ini baru seumur jagung merdeka. Tapi di desa-desa seperti Ambarawa, kemerdekaan belum berarti ketenangan. Angin membawa kabar. Tentang tentara yang datang. Tentang perang yang belum berakhir…”

(Mbak Siti datang sambil membawa kendi dan keranjang.)

MBAK SITI
(Menatap ke langit)
Langit sore kok makin merah ya, Mbah. Kayak mau hujan… tapi kok hawane aneh.

MBAH KARTO
(tersenyum pahit)
Merahnya bukan merah hujan, Nduk. Tapi merahnya darah yang bakal tumpah lagi. Aku ndenger tadi, Sekutu mendarat di Semarang.

MBAK SITI
(Sedikit panik)
Lha… katanya datang cuma buat ambil tentara Jepang?

MBAH KARTO
(Lirih, nada sinis)
Cuma? Hah. Ndak ada yang “cuma” kalau yang datang bawa bedil. Aku tau baunya penjajah, walau dibungkus bendera baru.

(Sukro dan Rini masuk dari kanan, membawa sepeda dan tas kain.)

SUKRO
(bersemangat)
Mbah! Aku bawa kabar! Dari Jogja! TKR dibentuk! Panglima besarnya Kolonel Soedirman!

RINI
(tersenyum lebar)
Dan katanya… beliau orang Solo. Dekat sama sini. Pejuang sejati!

MBAH KARTO
(berdiri perlahan)
Soedirman? Ya Allah… itu nama besar. Tapi nama saja tak cukup kalau rakyat masih dibodohi dan digertak.

(Pak Lurah Raji datang tergesa-gesa, napas memburu.)

PAK LURAH RAJI
(Mendesak)
Mbah Karto! Warga kumpul di balai desa. Ada pengumuman penting. Tentara Sekutu minta ijin masuk Ambarawa. Katanya cuma numpang… tapi…

MBAK SITI
(berseru)
Tuh, Mbah… bener kan? Merah di langit tadi itu pertanda…

(Lampu meredup perlahan. Musik tegang mulai naik.)

NARATOR
(dalam)
“Kemerdekaan tak serta-merta membawa damai. Dan tanah yang baru lahir sebagai bangsa, segera diuji oleh sejarah…”

BABAK BERAKHIR
(Lampu padam. Gamelan berubah pelan, nada sedih dan penuh misteri.)