🕰 Latar Waktu:
Awal tahun 1908
📍 Lokasi:
Kota Batavia, Hindia Belanda — suasana jalanan, sekolah STOVIA, dan rumah-rumah penduduk pribumi
🎬 ADEGAN
(Lampu sorot membuka pada suasana kota Batavia. Jalanan ramai tapi muram. Pedagang pribumi, anak-anak kecil tanpa alas kaki, dan serdadu Belanda berlalu-lalang.)
NARATOR (suara latar, tenang dan dalam):
Batavia, awal abad ke-20.
Kota yang sibuk, tapi bukan milik kita.
Kekuasaan kolonial mencengkeram, dari kantor gubernur hingga ruang kelas.
Tapi… benih kebangkitan sedang tumbuh — pelan, dalam diam.
🎭 TOKOH-TOKOH MUNCUL:
- Dr. Wahidin Sudirohusodo: sedang berjalan pelan menyusuri pasar, memperhatikan rakyat miskin.
- Pemuda STOVIA: melintas tergesa membawa buku
- Penjual kaki lima: diusir paksa oleh serdadu Belanda
WAHIDIN (monolog):
Rakyat ini terlalu lama dibungkam.
Terlalu lama percaya bahwa penjajahan itu takdir.
Tapi bukan itu yang ditulis dalam kitab bangsa.
Pendidikan… ya, pendidikan.
Itu jalan satu-satunya untuk mengangkat derajat bumiputra.
(Tiba-tiba suara bentakan serdadu Belanda mengusir pedagang kecil. Pedagang tersungkur.)
SERDADU BELANDA (kasar):
Weg! Pergi dari sini, tidak boleh jualan di trotoar!
Kota ini bukan milikmu!
WAHIDIN (geram, tapi menahan diri):
(berbisik) Kota ini memang belum milik kita… tapi suatu hari nanti.
🔄 TRANSISI
(Lampu berpindah ke gedung STOVIA. Para siswa duduk di ruang kelas, berpakaian rapi, tapi wajah penuh beban. Seorang guru Belanda mengajar sejarah Eropa dengan nada bangga.)
GURU BELANDA:
…dan itulah kejayaan Belanda di atas negeri-negeri tropis.
Kalian sebagai anak-anak terpilih, harus bangga bisa dididik oleh bangsa superior.
SOETOMO (dalam hati, sambil menggenggam pena):
Mereka menyebut kami terpilih… tapi tetap memperlakukan kami seperti budak.
Ini bukan pendidikan… ini penghalusan rantai penjajahan.
NARATOR (suara latar):
Di dalam kelas, mereka dipaksa mendengar pujian tentang penjajahan.
Tapi di balik lembar-lembar catatan…
tersimpan tekad baru yang mulai menyala.
🎵 PENUTUP BABAK:
(Lampu redup. Soetomo dan teman-temannya keluar dari kelas, menyusuri lorong STOVIA, menatap ke luar jendela di mana rakyat jelata berjalan lemah. Musik lirih mulai mengalun — nada kebangkitan.)