April: Menengok Kembali Emansipasi — Sudah Kebablasan, Andai Kartini Ada, Pasti Menangis
April identik dengan nama besar: Raden Ajeng Kartini. Setiap tahun, kita mengenang perjuangannya yang gemilang dalam memperjuangkan hak perempuan untuk belajar, berpikir, dan berbicara. Namun, di tengah gegap gempita perayaan emansipasi, muncul tanya yang menggigit: apakah emansipasi hari ini masih selaras dengan semangat awal yang diperjuangkan Kartini? Ataukah kita telah kebablasan?
Emansipasi, dalam makna aslinya, bukan tentang menyaingi laki-laki atau merebut peran secara agresif. Kartini tidak pernah menuntut perempuan untuk melampaui batas kodratnya, melainkan meminta ruang untuk menjadi manusia utuh—yang berpikir, berkarya, dan dihargai secara setara. Tapi kini, emansipasi sering dimaknai sempit sebagai kebebasan mutlak, bahkan kadang menjadi pembenaran atas hilangnya nilai, sopan santun, dan etika dalam berperan sebagai perempuan.
Kita melihat banyak ironi. Perempuan dibebaskan memilih jalan hidupnya, tapi justru sering terjebak dalam standar media sosial, tuntutan konsumerisme, dan glorifikasi “bebas” tanpa batas. Bahkan ada yang menjadikan emansipasi sebagai tameng untuk menolak tanggung jawab, menistakan peran domestik, atau melecehkan nilai-nilai luhur yang dulu begitu dijunjung tinggi oleh Kartini.
Andai Kartini hidup hari ini, ia mungkin akan menangis. Bukan karena kecewa perempuan telah maju, tapi karena banyak yang lupa bahwa kemajuan sejati bukan tentang menjadi “lebih dari laki-laki”, tetapi tentang menjadi pribadi merdeka yang tetap berakar pada nilai dan integritas. Kartini ingin perempuan bebas berpikir, bukan bebas dari tanggung jawab. Ia ingin perempuan mandiri, bukan liar tanpa arah.
Sudah saatnya kita menengok kembali makna emansipasi. Sudah saatnya kita bertanya: apakah yang kita rayakan setiap April masih mengandung semangat Kartini? Ataukah kita hanya mengulang seremonial tanpa makna, sementara nilai-nilai luhur perlahan luntur?
Emansipasi yang sejati adalah ketika perempuan bisa berdiri dengan martabat, berpikir kritis tanpa harus meninggalkan kelembutan, dan kuat tanpa kehilangan arah. Itu yang diperjuangkan Kartini. Dan itu yang seharusnya kita pertahankan.