Adegan 7: Cermin dari Masa Depan

Latar: Lorong Dimensi Ruwat – tempat tak berbatas, melayang dalam ruang penuh aksara purba dan cahaya mengambang. ARYA SAGARA berjalan perlahan, sendirian. Suara batin dan gema masa lalu bersahutan. Visual holografik kisah lama muncul di sekelilingnya.

(Suaranya narasi dalam batin. Musik ambient, suara kecapi dan denting kristal mengiringi.)

ARYA SAGARA (narasi):

Ini bukan waktu.
Bukan pula ruang.
Ini adalah ingatan yang belum selesai.

(Ia melihat adegan masa kecilnya: ibunya, RATU NIRLARAS, memeluknya di bawah bintang-bintang. Tiba-tiba, muncul kilatan peperangan—ayahnya, PRABU LANGITRANGGA, menghilang dihempas ledakan.)

ARYA SAGARA:
(tersentak)

Ayahku…?

(Dari balik kabut holografik, muncul sosok misterius: seorang laki-laki setengah mesin, mengenakan jubah hitam perak—wajahnya samar. Dialah PRABU LANGITRANGGA versi masa depan, berubah menjadi entitas setengah manusia setengah AI, dikenal sebagai PENJAGA CAHAYA.)

PENJAGA CAHAYA:

Kau akhirnya sampai di sini.

ARYA SAGARA:
(terkejut dan takut)

Siapa kau?

PENJAGA CAHAYA:

Aku adalah kemungkinan yang tidak kau pilih.
Aku adalah dirimu… jika kau menyerah pada amarah.
Dan aku juga… ayahmu.

(Gamelan mengeras, menciptakan ketegangan.)

ARYA SAGARA:

Tidak mungkin! Ayah gugur saat pertempuran di orbit Andarac!

PENJAGA CAHAYA:

Tidak. Ia diambil. Diprogram ulang. Dijadikan alat.
Aku melawan itu semua… dan kini menjaga dimensi ini agar tak jatuh pada kehancuran.

ARYA SAGARA:

Mengapa tak pernah kembali?

PENJAGA CAHAYA:

Karena tak semua luka bisa pulih dengan pelukan.
Beberapa luka… harus dilestarikan agar kita tak lupa bagaimana dunia bisa hancur.

(Suara sunyi. Mereka saling menatap. Kemudian PENJAGA CAHAYA menyerahkan sebilah keris bercahaya, Keris Saptalungit.)

PENJAGA CAHAYA:

Ini kunci terakhir.
Tapi ketahuilah: siapa pun yang memegang ini, takkan bisa mencintai dan membenci sekaligus.
Pilih salah satu. Maka nasib jagat akan mengikutimu.

ARYA SAGARA:
(mengambil keris, dengan berat hati)

Maka aku pilih… untuk mengakhiri dendam.
Walau itu berarti kehilangan ayah yang kukenal.

(Cahaya terang menelan panggung. Lorong dimensi runtuh perlahan. Musik menutup dengan nada sendu.)