Latar: Sebuah planet mati bernama Sangkara, penuh batu hitam dan kabut. Panggung gelap dengan cahaya ungu dan asap tipis. Musik gamelan bercampur suara ambient luar angkasa dan dentingan gamelan pelan, membuat atmosfer sakral dan menakutkan.
(Masuk ARYA SAGARA dan MBAH SANDIKA dengan pakaian tempur ritual. Mbah Sandika membawa tongkat berpendar cahaya. Suara angin digital menderu dari belakang panggung.)
MBAH SANDIKA:
(suara berat, sambil menusuk tongkat ke tanah)
Inilah tempatnya, Arya…
Di sinilah leluhurmu pernah menjerit…
Menyegel Duryatma dengan darah dan doa.
ARYA SAGARA:
(gugup, memandangi sekeliling)
Mengapa tempat ini terasa seperti menyimpan dendam?
MBAH SANDIKA:
Karena tanah ini masih haus…
Belum ada yang benar-benar menutup luka jagat.
(Tiba-tiba dari kabut muncul tiga bayangan. Mereka adalah PENJAGA BAYANGAN, entitas yang menjaga gerbang ujian.)
Suara mereka bergema tiga arah, seperti gema dari dalam gua.)
PENJAGA BAYANGAN 1:
Siapa kau yang memanggil kami dengan cahaya tua?
ARYA SAGARA:
(naik ke atas batu tengah panggung)
Aku… Arya Sagara. Pewaris Cahaya Purwacitra.
Aku datang untuk menjalani Ruwat Jagat.
PENJAGA BAYANGAN 2:
Cahaya?
Atau hanya nyala ego yang takut padam?
MBAH SANDIKA:
(membungkuk)
Ia membawa darah yang pernah membelah kegelapan!
PENJAGA BAYANGAN 3:
(berputar mengelilingi Arya, suara dingin)
Maka hadapilah tiga bayanganmu.
Bayangan masa lalu.
Bayangan luka.
Bayangan pengkhianatan.
(Cahaya sorot berubah menjadi merah. Tiba-tiba muncul tiga hologram: AYAH ARYA yang gugur, MELINDA yang mengkhianati Arman, dan sosok ARYA KECIL yang menangis.)
ARYA SAGARA:
(terperangah, lalu memejamkan mata)
Aku tak akan lari!
Aku akan berdamai dengan masa lalu…
Aku akan menatap luka, bukan menghindarinya!
Dan aku akan memaafkan… termasuk diriku sendiri.
(Satu per satu bayangan menghilang dalam cahaya biru. Musik mengalun seperti napas panjang yang dilepas.)
PENJAGA BAYANGAN (bersatu suara):
Maka kamu telah dibersihkan.
Kekuatanmu bukan pada otot…
Tapi pada keberanian untuk menanggung beban cahaya.
MBAH SANDIKA:
(tersenyum, mata berkaca)
Engkau telah melewati gerbang leluhur.
Kini, waktunya bersiap…
Karena Duryatma mulai bergerak.
(Langit panggung terbuka, cahaya kuning tua menyorot Arya. Dari balik panggung terdengar suara geraman menggelegar.)
SUARA DURYATMA (off-stage):
Cahaya yang bangkit…
Tapi masih rapuh seperti serpih bintang.
(Lampu padam seketika. Musik tegang naik pelan. Tanda babak ditutup.)