Latar: Langit gelap bergemuruh di atas Jayengratna. Waktu seakan berhenti. Semua makhluk, dari berbagai penjuru galaksi, terpaku pada satu sosok—Arya Sagara—yang kini berdiri sendiri, diterangi cahaya dari Keris Saptalungit yang melayang di udara.
NARATOR (suaranya dalam, bergema di ruang dan waktu):
Tatkala gelap nyaris menelan harapan…
Saat kepercayaan hancur oleh fitnah dan bayangan…
Hanya satu yang mampu menyibak segala dusta:
Keberanian hati yang murni.
PRAMESWARI (menunduk, perlahan):
Lanjutkan, Arya. Jangan ragukan takdirmu.
ARYA SAGARA (mengangkat tangan ke langit):
Wahai Jagat yang luka oleh tamak…
Wahai Bumi yang retak oleh dendam…
Hari ini aku bawa bukan amarah,
Tapi restu para leluhur untuk meruwat segalanya!
(Keris Saptalungit mulai berputar cepat, memancarkan cahaya yang menjalar ke angkasa. Awan hitam pecah. Cahaya menyapu seluruh galaksi. Sosok Rakai Gunawan—yang menonton dari orbit—berteriak panik.)
RAKAI GUNAWAN (melalui komunikasi darurat):
Tidak! Aku sudah membayar takdir dengan darah!
Aku pewaris sesungguhnya!
Jagat ini milikku!!
(Cahaya menelan armada Kaladruna satu per satu. Mereka tidak hancur, tapi berubah: menjadi pohon, batu, cahaya, kembali ke bentuk purba. Semesta disucikan.)
WARGA JAYENGRATNA (bersimpuh, menangis):
Ruwatan telah terjadi…
Ia bukan hanya pewaris…
Ia penyelamat jagat!
LINTANG:
Kau berhasil, Arya.
MAJA:
Bukan karena kau kuat. Tapi karena kau jujur.
(Cahaya dari keris perlahan memudar. Arya roboh, tubuhnya lelah, tapi matanya bersinar damai. Prameswari menopangnya.)
PRAMESWARI (berbisik):
Sekarang dunia boleh tidur tenang…
Karena anak manusia yang tulus telah menjaga warisan semesta.
(Gamelan lirih mengiringi akhir. Cahaya mentari pertama menembus langit Jayengratna. Di ujung panggung, muncul siluet nenek moyang Arya, tersenyum, lalu menghilang bersama angin.)
Tirai turun perlahan.
Selesai.