Adegan 1: Suara di Langit dan Wasiat dari Masa Silam

Latar: Panggung dibagi dua: satu sisi menggambarkan langit penuh bintang, sisi lain pendapa kerajaan Mataram galaksi ke-7. Cahaya remang, kabut tipis menyelimuti panggung.

(Gendhing pembuka dengan nada lirih futuristik mengalun, suara gamelan berpadu dengan efek suara elektronik seperti gema antariksa)

(Narator masuk dari samping panggung, mengenakan jubah gelap dan topeng bergaris cahaya neon)

NARATOR:
(berjalan perlahan ke tengah panggung, suaranya berat dan bergetar)

Ratusan purnama silam, saat bumi belum dijajah algoritma, dan langit belum dipagari satelit rakus…
Ada satu kerajaan, tersembunyi di antara waktu dan ruang, bernama Mataram Galaksi Ketujuh.
Raja mereka bukan manusia biasa—ia bisa mendengar suara bintang, dan memahami bahasa planet yang menangis.

(Cahaya mengarah ke sisi pendapa, terlihat Raja JAYAPATI duduk bersila, tua, berjubah putih bercahaya. Di sisinya seorang putri muda, GALUH SUNDARI, dan panglima muda, RADEN BRAJALOKA)

RAJA JAYAPATI:
(tersengal, napas berat, suaranya lirih)

Sundari… Brajaloka… waktu Ayahanda di dunia ini hampir selesai.
Tapi suara langit belum berhenti memanggil…
Jagat ini butuh diruwat. Kegelapan dari lorong waktu akan bangkit.

GALUH SUNDARI:
(tersedu)

Ayahanda… apa maksud sabda itu? Siapa yang akan meruwat jagat?

RAJA JAYAPATI:
(mengangkat tangan perlahan, menunjuk ke arah langit)

Anak itu… yang lahir bukan dari rahim bumi, tapi dari rahim bintang yang runtuh.
Dialah pewaris sejati Galactic Legacy…

(Gendhing mendadak naik tensinya. Lampu kilat menyambar dari sisi langit. Layar holografik menampilkan meteor yang jatuh, lalu cahaya kecil yang mengambang—seorang bayi diselimuti kabut cahaya)

NARATOR:

Maka, dimulailah perjalanan ruwat jagat.
Di langit… di tanah… dan di antara dua dunia,
takdir akan bertarung melawan kehendak.

(Lampu padam perlahan. Gendhing berganti nada. Tirai turun sebentar.)