Di lembah yang hijau dan sejuk, tinggallah seekor rusa muda bernama Lona. Ia punya tanduk kecil yang baru tumbuh, mata lembut, dan langkah ringan. Tapi Lona selalu merasa dirinya kurang. Ia sering menunduk, menjauh dari keramaian, dan tak pernah ikut lomba lari di padang rumput.
“Aku bukan siapa-siapa,” ucapnya suatu hari pada bayangannya di permukaan sungai. “Tandukku tak sebesar milik Ayah. Larinya pun biasa saja.”
Setiap kali binatang lain memuji langkahnya yang lincah, Lona hanya tersenyum kecil dan pergi. Ia merasa pujian itu hanya untuk menyenangkan hatinya.
Suatu malam, saat embun mulai turun, Burung Hantu Hanu melihat Lona duduk sendiri di bawah pohon akasia.
“Hai, Lona. Kenapa kau terlihat murung lagi?” tanya Hanu.
Lona menghela napas. “Karena aku bukan seperti rusa-rusa lain. Aku tak cukup cepat, tak cukup kuat, dan tandukku kecil. Semua yang kulakukan rasanya sia-sia.”
Hanu mendekat dan bertengger di dahan tepat di atas Lona. “Pernahkah kau melihat pelangi dari dekat?”
Lona menggeleng. “Tidak.”
“Karena pelangi memang tidak harus dilihat dari dekat. Ia cukup ada di langit, dan semua makhluk akan terpesona. Begitu juga kau, Lona. Nilaimu tidak ditentukan oleh besar tanduk atau kecepatan lari. Tapi oleh keberadaanmu yang membawa keindahan.”
Lona terdiam.
Hanu melanjutkan, “Tahukah kau, tanaman paling harum di hutan ini adalah bunga liar kecil di bawah akar batu. Ia tidak menonjol. Tapi aromanya menenangkan siapa pun yang lewat.”
Malam itu, Lona tidur dengan hati yang lebih tenang.
Keesokan paginya, saat lomba kecil diadakan di padang rumput, Lona memutuskan ikut. Ia mungkin tidak menang. Tapi ia berlari dengan percaya diri, dengan napas yang seirama dengan angin pagi.
Dan semua hewan tersenyum melihatnya. Karena hari itu, Lona bukan hanya berlari—ia bersinar.