Di ujung hutan lebat, tinggallah seekor harimau besar bernama Ragya. Ia gagah, tubuhnya berotot, matanya tajam, tapi ada satu hal yang aneh—ia tak pernah tersenyum.
Setiap hewan yang lewat akan segera menunduk. Bukan karena takut dicakar, tapi karena merasa sedih melihat wajah Ragya yang selalu murung. Tak pernah tertawa, tak pernah bersenda gurau, hanya diam dan menyendiri di balik pohon-pohon tinggi.
Suatu malam, saat bulan bersinar pucat, Burung Hantu Hanu datang bertengger di cabang pohon dekat tempat Ragya berbaring.
“Hai, Ragya,” sapa Hanu pelan.
“Hmm,” gumam Ragya. “Apa yang kau mau?”
“Aku hanya bertanya… kapan terakhir kali kau tertawa?”
Harimau itu mendengus. “Tertawa itu untuk yang lemah. Aku tak butuh itu.”
“Benarkah? Tapi aku dengar tawamu saat kecil bisa membuat burung berhenti berkicau karena ikut tertawa,” kata Hanu dengan senyum kecil.
Ragya terdiam. Ingatannya melayang pada masa kecil—bermain lumpur dengan saudara-saudaranya, tertawa saat jatuh dari batu besar, geli saat semut berjalan di ekornya.
“Tapi semua itu sudah lama berlalu. Dunia kini keras. Kalau aku tertawa, siapa yang akan takut padaku?”
Hanu mengangguk. “Kau benar, dunia bisa keras. Tapi kadang, justru tawa yang membuat kita kuat. Tawa itu bukan kelemahan, Ragya. Ia adalah pengingat bahwa kita masih hidup.”
Harimau besar itu menunduk. Lama ia diam, lalu berkata, “Aku… lupa bagaimana rasanya.”
“Kau tak harus langsung tertawa keras. Mulailah dengan senyum kecil. Biar malam yang membawa ingatan, dan biar teman yang mengingatkan bahwa kau tidak sendiri.”
Esok harinya, keajaiban terjadi. Ragya duduk di tepi sungai, menonton anak-anak monyet bermain air. Seekor terpeleset dan jatuh dengan lucunya. Harimau itu mengerutkan bibirnya, lalu—untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun—ia tersenyum.
Senyumnya tak besar. Tapi cukup untuk membuat semua hewan tahu: harimau kuat pun punya hati yang hangat.
Dan sejak itu, hutan tak lagi terlalu sunyi. Karena tawa Ragya—yang selama ini tersembunyi—akhirnya kembali.