Di sebuah pohon beringin besar, tinggal seekor ular muda bernama Silo. Ia cerdik, lincah, dan sering membantu binatang kecil dari gangguan. Tapi Silo punya satu kekurangan besar: ia tidak suka ditegur, apalagi dikritik.
Suatu hari, Silo menggertak seekor musang karena dianggap terlalu berisik. Saat kura-kura tua menegurnya agar bersabar, Silo menjentikkan ekornya dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Aku tahu apa yang kulakukan! Mereka tak perlu ikut campur,” geramnya.
Tak lama kemudian, ia menegur seekor burung muda yang terbang terlalu rendah. Burung itu menangis ketakutan. Ketika seekor kijang mencoba menjelaskan bahwa burung itu baru belajar terbang, Silo malah mendesis keras dan pergi.
Malam itu, di dahan pohon tinggi, Burung Hantu Hanu memperhatikan semuanya. Ia terbang turun perlahan dan menghampiri Silo yang sedang melingkar sendiri.
“Hai, Silo. Malam ini terasa sunyi, ya?” sapa Hanu.
“Sunyi? Memang lebih baik begitu,” sahut Silo. “Tak ada yang mengganggu dengan nasihat dan teguran mereka.”
Hanu tersenyum tenang. “Tahukah kau, Silo, bahwa bulan tidak pernah bersinar sendiri?”
“Apa maksudmu?” tanya Silo, penasaran.
“Bulan memantulkan cahaya dari matahari. Ia tidak malu menerima pantulan. Ia tak sombong untuk menolak bantuan. Begitu juga kita. Kadang, cahaya terbaik kita datang dari mendengar orang lain.”
Silo menghela napas. “Tapi kadang aku merasa mereka merendahkanku.”
“Bukan siapa yang bicara, tapi apa yang mereka katakan,” jawab Hanu. “Teguran bisa jadi jendela untuk melihat kesalahan kita. Menutup jendela itu berarti membiarkan diri tinggal dalam gelap.”
Silo terdiam lama.
Keesokan harinya, Silo kembali ke hutan. Ia mulai mendengar lebih banyak, menanggapi dengan tenang, dan menerima masukan. Ia masih kuat dan cerdik—tapi kini juga bijak dan dihormati.
Karena ia telah belajar bahwa menjadi hebat bukan berarti tak pernah salah, tapi berani mengakui saat salah.