3. Burung Hantu dan Tikus yang Tak Pernah Puas

Di sudut paling gelap hutan, di balik akar pohon besar, tinggal seekor tikus bernama Tiku. Ia rajin bekerja, selalu mencari makanan dan menyimpan biji-bijian di lubangnya. Tapi Tiku punya satu kebiasaan buruk—ia tidak pernah puas.

Setiap kali ia menemukan satu biji jagung, ia ingin dua. Dapat dua, ia ingin sepuluh. Dapat sepuluh, ia iri pada yang punya seratus.

Suatu malam, Tiku memanjat pohon tua tempat Burung Hantu Hanu tinggal.
“Hanu, aku sudah punya banyak makanan. Tapi kenapa aku tetap merasa kurang?”

Hanu membuka matanya perlahan, lalu bertanya,
“Kau makan berapa banyak setiap hari, Tiku?”

“Dua biji jagung. Tapi aku harus kumpulkan ratusan! Kalau tidak, bagaimana kalau aku kelaparan nanti?”

Hanu tersenyum lembut.
“Apakah kau pernah kelaparan?”

“Belum…” jawab Tiku, ragu.

“Dan teman-temanmu, apakah mereka juga menimbun seperti itu?”

“Tidak. Tapi mereka sering minta-minta. Aku tidak mau jadi seperti mereka,” jawab Tiku cepat.

Hanu terdiam sejenak.
“Tiku, menyimpan untuk masa depan itu bijak. Tapi jika rasa takutmu membuatmu buta terhadap kebahagiaan hari ini, maka kau sedang dikendalikan oleh ketamakan.”

Tiku tertunduk. Ia tak pernah memikirkan itu sebelumnya.

“Bayangkan jika biji-biji itu bisa dibagi. Kau tetap cukup, dan temanmu pun tak kelaparan. Kadang, kepuasan tidak datang dari jumlah, tapi dari makna,” ujar Hanu.

“Makna?” Tiku mengerutkan kening.

“Ya. Satu biji yang dibagi bisa lebih berarti daripada seratus biji yang disimpan dalam gelap.”

Keesokan harinya, Tiku membawa sebagian simpanannya ke padang rumput tempat tupai dan kelinci bermain. Ia memberi mereka makanan dengan senyum tulus. Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Tiku tidak memikirkan berapa banyak yang tersisa—melainkan betapa hangat rasanya melihat teman-temannya kenyang dan tersenyum.

Sejak itu, Tiku tetap bekerja rajin, tapi ia juga belajar memberi. Dan setiap malam, sebelum tidur, ia selalu berkata pada dirinya sendiri:
“Cukup itu bukan tentang banyaknya, tapi tentang hati yang merasa damai.”