2. Burung Hantu dan Monyet yang Suka Pamer

Di pohon besar dekat air terjun, tinggal seekor monyet bernama Momo. Ia lincah, pintar memanjat, dan sangat suka memamerkan keahliannya. Setiap pagi, Momo meloncat dari dahan ke dahan sambil berteriak,
“Lihat aku! Aku bisa memutar-mutar ekor!”
“Lihat aku! Aku bisa lompat paling tinggi!”

Teman-temannya—si Tupai, Burung Pipit, dan bahkan si Landak—sering dibuat kesal. Tapi mereka hanya diam karena tak ingin membuat Momo marah.

Suatu hari, saat hewan-hewan hutan berkumpul untuk lomba kecil-kecilan, Momo dengan lantang berseru,
“Kalau bukan aku yang menang, pasti semua curang!”

Lomba pun dimulai. Ada lomba mencari buah tercepat, menyeberangi sungai, dan membawa daun tanpa jatuh. Momo menang di satu lomba, tapi kalah di dua lainnya. Ia marah besar.

“Ini tidak adil! Semua hanya iri padaku!” teriaknya sambil memanjat ke puncak pohon dan duduk sendirian.

Malamnya, Momo mendengar suara lembut dari atas—itu Burung Hantu Hanu.
“Momo… kenapa kau marah?”
“Aku harusnya menang semua. Aku yang paling hebat!” jawab Momo kesal.

Hanu menatapnya dengan mata bulat dan penuh pengertian.
“Kau memang hebat, Momo. Tapi jika kau terus memamerkan dirimu, teman-temanmu bisa merasa kecil dan tidak berani mencoba.”

Momo diam.

“Menjadi hebat bukan soal siapa yang paling terlihat. Tapi soal siapa yang bisa membuat yang lain ikut tumbuh,” lanjut Hanu.

“Tapi aku ingin diakui…” bisik Momo.

“Pujian itu seperti angin, datang dan pergi. Tapi kebaikan dan kerendahan hati… itu yang tinggal lebih lama di hati teman-temanmu,” kata Hanu pelan.

Momo menunduk. Ia mengingat wajah teman-temannya tadi, yang tetap bersorak meski tidak menang.

Keesokan harinya, Momo datang membawa buah untuk teman-temannya. Ia berkata,
“Aku minta maaf karena sering pamer. Aku ingin jadi teman yang menyenangkan, bukan yang membanggakan diri.”

Tupai tersenyum, Pipit menepuk sayap, dan Landak mengangguk. Hari itu mereka bermain bersama lebih seru dari biasanya.

Dan Momo? Ia tetap bisa lompat tinggi dan memutar ekor… tapi kini ia tak berteriak lagi. Ia belajar bahwa menjadi hebat bukan soal menjadi pusat perhatian, tapi menjadi cahaya yang menuntun tanpa menyilaukan.