🎭 PANCASILA KI OPO?

(Lampu panggung menyala perlahan. Seorang pemuda berdiri sendirian. Ia memakai jaket hoodie, celana jeans, dan membawa handphone. Suaranya pelan, seperti ngobrol dengan penonton.)

PEMUDA:
Pancasila ki opo?
(Kening mengernyit. Duduk di pinggir panggung.)
Lha iya, aku tau… itu yang lima itu kan…
Tapi yo jujur wae, aku hafal, tapi ra ngerti.
Ngomong Pancasila tiap hari Senin, tapi pas ditanya “sila keempat apa?” langsung auto buka Google.

(Menunjukkan HP, pura-pura cari Google.)

“Sila keempat… Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”
Oke, mantap. Tapi… artine opo?

(Menatap ke penonton, setengah senyum.)
Kita, Gen Z, tiap hari dicekokin nilai-nilai luar negeri.
Ngerti tentang “equality”, “freedom of speech”, “toxic positivity”,
tapi pas denger kata “Ketuhanan yang Maha Esa”, langsung mikir:
“Wah ini pasti mata pelajaran yang bikin ngantuk.”

Padahal…
Pancasila itu bukan sekadar hafalan,
tapi semacam… “software dasar” bangsa ini.
Kayak operating system.
Mau kamu jadi Android atau iOS,
kalau kamu warga negara Indonesia… ya “PancasilaOS” harus aktif dulu.

(Bangkit berdiri, mulai lebih semangat.)

Coba kita runut bareng-bareng, yuk.

Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Artine, kita ini hidup bareng, saling jaga keyakinan.
Mau kamu sholat lima waktu, meditasi, ke gereja, ke pura,
atau masih nyari Tuhan di Spotify playlist —
semua dihargai.

Pancasila ngajarin bahwa iman bukan bahan pamer,
tapi pondasi untuk gak saling menjatuhkan.

Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Lha iki penting banget.
Kita boleh beda gaya, beda selera,
tapi kudu tetep “nduweni rasa” —
ngerti lho… empati, welas asih.

Beradab itu bukan cuma bisa makan pakai sendok garpu.
Tapi bisa ngerti bahwa hidup ini gak cuma tentang aku,
tapi tentang kita.

(Jeda. Menatap lantai. Nada berubah reflektif.)

Tapi kadang kita lupa.
Liat temen struggling, kita bilang:
“Wah, dia mah kurang usaha.”
Padahal, ya mungkin dia butuh ditanyain, “Are you okay?”

Sila ketiga: Persatuan Indonesia.

Ini bukan cuma soal merah putih atau upacara 17-an.
Tapi tentang… gak gampang kebakar sentimen.
Tentang bisa bilang, “Kita bisa beda tanpa harus musuhan.”

Persatuan itu bukan berarti harus seragam.
Tapi gimana caranya kita tetap bareng, meski playlist Spotify beda-beda.
Yang satu suka Blackpink, yang satu suka Didi Kempot.
Gpp, coy. Indonesia luas!

(Gaya santai, tapi penuh makna.)

Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Panjang banget ya?
Tapi artine sesimpel ini:
Dengerin dulu, baru ngomong.
Musyawarah itu bukan siapa paling keras.
Tapi siapa yang paling bijak.

Coba bayangin grup WhatsApp kelas —
yang satu maunya jalan-jalan ke pantai,
yang satu maunya nginep di villa.
Terus malah debat dua minggu, akhirnya… gak jadi kemana-mana.

(Tersenyum kecil.)

Ya karena musyawarah tanpa kebijaksanaan itu kayak… bikin polling tanpa baca komentar.

Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bukan buat kamu doang, bukan buat yang viral doang.
Tapi buat semua.
Yang tinggal di kota, yang di kampung.
Yang update status pakai iPhone, dan yang cuma bisa scroll Facebook pake HP second.

Pancasila ngajarin bahwa keadilan bukan soal bagi rata,
tapi soal bagi rasa.
Yang punya lebih, bantu yang kekurangan.
Yang udah naik, bantu yang masih jalan kaki.
Yang dapet mic, ngomonglah buat yang gak punya panggung.

(Menatap ke penonton dengan lebih serius, tapi lembut.)

Pancasila ki ora usang.
Pancasila itu bukan barang museum.
Dia bukan jargon politik, bukan quotes di spanduk kelurahan.
Dia… ya kita ini.
Kalau kita masih bisa ketawa bareng, makan bareng,
beda pendapat tapi gak putus silaturahmi —
itu Pancasila.

(Jeda. Tarik napas. Pelan-pelan senyum.)

Jadi…
Pancasila ki opo?
Pancasila itu… alasan kenapa kita bisa tetap jadi Indonesia,
meskipun kamu ngetik pakai “lu-gue” dan aku masih suka bilang “kowe-kulo”.

(Angkat tangan ke dada, tutup dengan tenang.)

Salam Pancasila.
Bukan karena hafal, tapi karena paham.