đź•° Latar Waktu:
Tahun 1909–1912
📍 Lokasi:
Berpindah-pindah — sekolah desa, stasiun kereta, rumah baca, dan kantor redaksi surat kabar bumiputra.
ADEGAN 1: (Sekolah desa di luar Yogyakarta)
(Seorang guru muda membacakan artikel dari surat kabar kepada murid-muridnya yang duduk bersila.)
GURU:
“…Organisasi Budi Utomo telah membuka cabang ke-10 di Tegal. Pendidikan dan kesadaran bangsa makin meluas…”
(Lalu menatap murid-murid)
Kalian semua… adalah generasi baru.
Yang akan melanjutkan gelombang ini. Dengan pena, bukan pedang.
MURID:
Guru… apakah nanti kita bisa kuliah juga seperti Tuan Soetomo?
GURU (tersenyum):
Kalau kalian terus membaca dan belajar… mengapa tidak?
ADEGAN 2: (Stasiun kereta Magelang)
(Seorang pemuda berkain batik dan berkopyah membawa koper penuh selebaran dan brosur Budi Utomo. Ia bertemu dengan dua kawannya.)
AKTIVIS 1:
Cabang di Semarang minta bantuan. Mereka ingin mengadakan kursus malam untuk rakyat.
Tapi kita kekurangan guru.
AKTIVIS 2:
Aku bisa bantu. Aku tinggalkan pekerjaanku di toko.
Aku lebih ingin ikut gelombang ini daripada hidup nyaman sendiri.
(Pemuda pertama tersenyum, lalu mengangkat koper.)
AKTIVIS 1:
Kalau begitu… ayo kita naik kereta berikutnya.
Kita bukan prajurit perang. Tapi kita sedang menjajah balik penjajahan.
ADEGAN 3: (Kantor redaksi surat kabar Medan Prijaji)
(Cetak mesin berbunyi. Tirto Adhi Soerjo berdiri sambil membaca draft berita.)
TIRTO:
Budi Utomo memang masih hati-hati. Tapi dari situlah semua bermula.
Tulisan kita harus mengobarkan harapan…
Bukan kemarahan yang membakar, tapi api yang menuntun.
(Seorang juru ketik mendekat.)
JURU KETIK:
Apakah kita juga akan dilabeli penghasut, Tuan Tirto?
TIRTO:
Kalau itu harga dari kebenaran, aku tak gentar.
Karena jika rakyat tak mengenal suaranya sendiri, maka siapa lagi yang akan mendengarkannya?
NARATOR (suara latar):
Budi Utomo memang bukan satu-satunya…
Tapi ia menjadi ombak pertama yang mengguncang laut yang lama diam.
Setelahnya datang Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah, dan gelombang-gelombang baru.
Dari ruang kelas ke ruang redaksi,
Dari lumbung desa ke podium kota,
Rakyat mulai percaya… bahwa kebangkitan bukan mimpi.
(Lampu meredup, suara mesin cetak pelan-pelan menghilang. Terlihat kalender tahun berganti dari 1909… ke 1910… ke 1912.)