🎭 BABAK 6: Kabar Menyebar ke Nusantara

đź•° Latar Waktu:
Pertengahan tahun 1908, beberapa minggu setelah Budi Utomo didirikan

📍 Lokasi:
Beberapa tempat secara bergantian — ruang guru STOVIA, rumah Wahidin di Yogyakarta, dan ruang kelas di Surakarta.

ADEGAN 1: (Batavia – ruang guru STOVIA)
(Seorang guru Belanda, de Vries, membaca surat kabar sambil berkacak pinggang. Di sebelahnya, dua guru bumiputra hanya diam menunduk.)

DE VRIES:
Apa ini? “Perkumpulan pemuda Hindia: Budi Utomo”?!
Siapa yang memberi izin? Ini lembaga pendidikan, bukan tempat membangun ambisi politik!

GURU 1 (hati-hati):
Mereka hanya ingin memajukan pendidikan dan kebudayaan, Tuan. Tidak ada unsur pemberontakan.

DE VRIES:
Hari ini “pendidikan”, besok “kemerdekaan”! Aku akan laporkan ini ke Direktur Pendidikan. STOVIA tidak boleh jadi sarang agitasi.

ADEGAN 2: (Yogyakarta – rumah Wahidin)
(Wahidin duduk dikelilingi tokoh-tokoh Jawa muda dan priyayi rendah. Mereka membaca brosur kecil bertuliskan “Budi Utomo”)

WARGA 1:
Apakah ini hanya untuk murid kedokteran, Dokter Wahidin?

WAHIDIN:
Tidak. Ini untuk semua kaum muda yang ingin bangsanya bangkit.
Anak petani, saudagar kecil, guru desa — semua bisa jadi bagian.
Tapi ingat: kita mulai dengan pikiran, bukan dengan pedang.

WARGA 2:
Kami akan bentuk cabang di Yogyakarta. Kami punya orang-orang yang siap!

ADEGAN 3: (Surakarta – ruang kelas)
(Seorang guru muda, Pak Raden, membacakan surat dari Soetomo di depan murid-muridnya)

PAK RADEN:
“…Dengan ini kami harap kawan-kawan di Surakarta bersedia mengirim utusan ke Kongres Budi Utomo pertama…”
(Suaranya bergetar penuh haru)
Anak-anak, kalian mungkin belum mengerti… tapi ini awal perubahan.
Bukan hanya untuk kalian. Tapi untuk tanah air kita.

NARATOR (suara latar):
Dalam waktu singkat, nama Budi Utomo menyebar — dari Batavia ke Yogyakarta, dari Surakarta ke Magelang, Surabaya, hingga ke pelosok yang tak pernah disangka.
Ia lahir tanpa senjata, tanpa bendera… hanya dengan semangat dan pena.
Tapi ia menggetarkan tanah yang selama ini terdiam.

(Lampu perlahan meredup, berganti dengan visual surat-surat yang berpindah tangan, wajah-wajah muda penuh harap, dan denting gamelan di kejauhan.)