🎭 BABAK 3: Gagasan yang Ditertawakan

🕰 Latar Waktu:
Beberapa hari setelah pertemuan Soetomo dan Wahidin

📍 Lokasi:
Asrama pelajar STOVIA – malam hari. Ruangan sederhana, cahaya lampu minyak menggantung di langit-langit, tembok berwarna kusam, beberapa ranjang susun terlihat di latar belakang.

ADEGAN:

(Soetomo duduk menghadap tiga kawannya: Gunawan, Gondowinoto, dan Tjipto. Di tengah mereka ada kertas-kertas berserakan. Soetomo bersemangat, sementara yang lain terlihat ragu.)

SOETOMO:
…jadi, inilah waktunya. Kita bentuk organisasi. Bukan lagi kumpulan belajar biasa. Tapi satu gerakan nyata — untuk kemajuan bangsa kita.

GONDOWINOTO (berdiri dan mendengus kecil):
Organisasi? Untuk apa? Kita ini pelajar kedokteran, Tomo. Fokus saja pada ujian dan masa depan.

GUNAWAN (menghela napas):
Dan kalau Belanda tahu, kita bisa dikeluarkan. Dicap pembangkang. Kau tahu apa risikonya?

SOETOMO (tegas):
Justru karena kita tahu risikonya, kita harus mulai sekarang. Kau kira bangsa ini akan bangkit kalau kita semua hanya jadi dokter yang tunduk?

TJIPTO (pelan, hati-hati):
Tapi bagaimana kita yakinkan orang-orang tua? Para priyayi itu masih takut bayangan kolonial. Mereka lebih peduli status daripada kemerdekaan berpikir.

SOETOMO:
Kita tidak perlu izin mereka. Kita mulai dari yang muda. Dari kita. Kita ajak bicara. Kita keliling. Kita buktikan bahwa suara kaum muda bisa didengar.

GONDOWINOTO (setengah mencemooh):
Kau bermimpi, Tomo. Seolah bangsa ini bisa disatukan hanya dengan kata-kata.

SOETOMO (menatap tajam):
Mimpi yang diyakini bersama bisa jadi kenyataan. Bukankah dulu kita juga bermimpi jadi pelajar? Dan lihat, sekarang kita di sini.

(Senyap. Semua saling pandang. Lalu Gunawan perlahan mengambil salah satu kertas dan membacanya.)

GUNAWAN (pelan):
“Budi Utomo… nama ini artinya: usaha luhur.”
(lirih)
Indah juga, ya.

TJIPTO (mengangguk):
Kalau memang kita mulai, kita butuh rapat lebih besar. Kita undang semua pelajar dari angkatan lain.

SOETOMO (tersenyum):
Aku sudah bicara dengan Pak Wahidin. Ia bersedia membantu dana awal. Asal kita sungguh-sungguh.

GONDOWINOTO (pelan, akhirnya luluh):
Baiklah. Tapi ingat, Tomo… ini bukan jalan mudah.

SOETOMO (mantap):
Justru karena sulit, kita harus tempuh. Kalau bukan kita, siapa?

NARATOR (suara latar):
Di malam sunyi itu, di balik pintu kayu usang dan cahaya lampu minyak, lahirlah semangat baru.
Belum berupa organisasi resmi, belum pula diketahui banyak orang. Tapi dari percakapan yang ditertawakan, lahirlah arah perjuangan yang tak bisa dibatalkan.

(Lampu perlahan padam. Terdengar suara pena menulis dan desir angin malam Batavia.)