🕰 Latar Waktu:
Beberapa minggu setelah Babak 1
📍 Lokasi:
Halaman belakang STOVIA – sore hari yang lengang. Pepohonan rindang dan suara burung sesekali terdengar. Suasana tenang, seakan menyembunyikan ketegangan dalam hati para murid muda.
ADEGAN:
(Suetomo duduk sendirian di bangku kayu sambil membaca. Di tangannya tergenggam surat kabar berbahasa Belanda. Sesekali alisnya mengernyit.)
SOETOMO (gumam):
“Perhimpunan pelajar Tionghoa mendapat dukungan dana dari kalangan saudagar. Tapi kita? Pemuda bumiputra hanya dijanjikan sabar dan tunduk.”
(pelan tapi penuh tekad)
“Sudah waktunya kita punya wadah sendiri…”
(Suara langkah pelan mendekat. Masuk Wahidin Sudirohusodo, pria tua berwibawa, mengenakan jas dan kopiah. Matanya tajam tapi ramah.)
WAHIDIN:
Permisi, Nak. Ini STOVIA, bukan?
SOETOMO (berdiri cepat):
Betul, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?
WAHIDIN (tersenyum):
Namamu Soetomo, bukan? Aku dengar dari seorang guru, kau murid cerdas… dan resah.
SOETOMO (terkejut, lalu perlahan duduk kembali):
Saya hanya murid, Tuan. Tapi memang… saya tidak bisa menutup mata.
WAHIDIN (duduk di sampingnya):
Begitu juga saya. Karena itu saya keliling Jawa. Menemui kaum muda seperti kamu. Menawarkan satu ide:
Mengumpulkan tenaga bangsa sendiri, lewat pendidikan. Lewat organisasi.
SOETOMO (antusias):
Organisasi? Untuk pelajar bumiputra?
WAHIDIN:
Bukan hanya pelajar. Tapi untuk seluruh anak negeri ini yang ingin bangsanya bangkit, berdiri sejajar dengan bangsa lain. Tapi harus dimulai dari kaum terpelajar.
SOETOMO:
Tapi banyak teman saya takut. Mereka bilang kita belum siap. Masih terlalu muda.
WAHIDIN (tegak, penuh semangat):
Lebih baik muda dan berani… daripada tua dan tunduk!
(Senyap sejenak. Soetomo bangkit berdiri, matanya membara.)
SOETOMO:
Kalau Tuan percaya… saya siap. Dan saya akan ajak kawan-kawan saya. Kita mulai sekarang!
WAHIDIN (berdiri dan menjabat tangannya):
Begitulah seharusnya seorang pemuda. Jangan tunggu terang dari langit. Jadilah terang itu sendiri.
NARATOR (suara latar):
Pertemuan sore itu sederhana. Tapi seperti percikan api yang jatuh ke jerami kering.
Dari sanalah, Budi Utomo mulai digagas.
Dan dari percakapan dua generasi… lahirlah tekad yang akan mengubah arah sejarah bangsa.
(Lampu perlahan redup. Suara gamelan lirih mengiringi perpindahan suasana. Soetomo dan Wahidin berjalan menjauh dalam siluet.)